ALLAH YANG TAK LUPA MENGHITUNG

(Roma 11:25-36)

Pdt. Nindyo Sasongko (The Elias Pohan Visiting Scholar di STT Jakarta)
Pendeta dari Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Kudus.

Surat Roma adalah surat yang penting sekali dalam lingkungan Kristen. Para teolog besar kerap kali identik dengan surat ini. Agustinus terpikat kepada khotbah-khotbah Ambrosius dari surat ini. Agustinus bertobat lantaran surat ini. Lebih dari seribu tahun kemudian, Luther juga mengikuti jejak Agustinus, ia bertobat setelah menemukan
kebenaran dari surat ini. Tak kurang pun Yohanes Kalvin dan John Wesley. Bahkan di Universitas Durham, Inggris, ada semacam kepercayaan bahwa “ujian” guru besar yang memangku jabatan profesorat J. B. Lightfoot adalah membuat tafsir Surat Roma (di antaranya berturut-turut C. E. B. Cranfield, C. K. Barret dan James D. G. Dunn).

Pada waktu saya menyelesaikan studi di SAAT, Malang, Surat Roma dan Galatia dibahas secara khusus selama satu semester setelah mata kuliah Surat-surat Paulus. Namun, banyak orang mengabaikan Roma 11 secara lebih utuh. Tentu, bagian yang sangat disukai adalah ay. 33-36. Tetapi ayat 1 s.d. 24? Bahkan ps. 9 dan 10 yang mendahuluinya? Ketiga pasal ini berbicara tentang Israel, umat Allah. Setelah Paulus secara panjang lebar berbicara mengenai Kristus sebagai ia yang diutus dari Allah, Paulus kini menukik pada pertanyaan: bagaimana dengan nasib kaumnya, Israel, yang pernah menerima perjanjian Allah? Apakah Allah telah meninggalkan mereka? Marilah kita
membaca bagian ini dari tiga perumpamaan Yesus di Lukas 15.

Di situ ada tiga perumpamaan: domba yang hilang (15:1-7), dirham yang hilang (15:8-10) dan anak yang hilang (15:11-32). Perhatikan kedua perumpamaan pertama. Keduanya berbicara tentang sang pemilik yang mencari yang hilang dan sukacita karena menemukan kembali sesuatu yang hilang itu. Demikianlah dengan Allah; Allah pasti
tidak akan tinggal diam jika ada yang terhilang. Marilah sekarang kita memerhatikan perumpamaan ketiga, yang sering dikenal sebagai perumpamaan anak yang hilang.

Perumpamaan ini biasanya dibaca dua tindakan heroik dari si anak bungsu dan ayah yang mencari; anak yang sulung adalah karakter antagonis. Khotbah dari perumpamaan ini begitu menusuk hati dan mengundang orang bertobat. Sama seperti anak yang bungsu itu kembali dari perantauan yang jauh—bertobat—maka manusia berdosa pun harus kembali kepada Allah Bapa. Tetapi perhatikan alasan dia kembali ke rumah, yaitu demikian, “Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: ‘Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan.’” Apa alasannya pulang? Perut! Jadi, anak yang bungsu tidak benar-benar
bertobat.

Apakah tindakan bapa itu yang hendak menunjukkan kasih Allah yang sejati dan sempurna? Mari kita dedah bagian ini. Di ayat 11 dikatakan, “Ada seseorang mempunyai dua anak laki-laki.” Kita tahu cerita selanjutnya. Anak bungsu pergi, berfoya-foya, kembali (dengan motivasi yang salah), dan ayah itu memestakan baginya besar-besaran. Sementara itu, si sulung sedang di ladang. Ketika ia sudah dekat dengan rumahnya, ia mendengar suara keramaian! Ada pesta! Ketika ia bertanya kepada seorang budaknya, ia mendapat jawaban bahwa adiknya telah kembali dan bapanya menyelenggarakan pesta besar-besaran. What? Tidak ada yang memberitahunya? Tunggu dulu, bapanya
bisa menyuruh orang untuk memesankan katering dan menghubungi Orkes Melayu, tetapi tidak ada seorang pun yang mengingatnya, bahkan ayahnya “yang mempunyai dua orang anak laki-laki” itu pun tidak! Sudah lupakah si bapa bahwa ia mempunyai dua anak?

Ditilik dari cara pandang ini, maka jika kedua perumpamaan sebelumnya mengemukakan Allah yang mencari dan tidak membiarkan ada yang terhilang, maka perumpamaan ketiga seolah-olah membalik tokoh “hero”-nya: Allah tidaklah demikian! Jika ia tidak menginginkan satu pun terhilang, maka jika ia adalah Bapa kita maka Bapa
itu tidak pernah lupa kepada anak-anak-Nya: Ia adalah Bapa yang tidak pernah lupa menghitung!

Mari kita perhatikan sekarang Roma 11:1. Paulus bertanya, “Adakah Allah mungkin telah menolak umat-Nya? Sekali-kali tidak!” Secara umum surat ini dilayangkan kepada jemaat yang bukan Yahudi, yang semula terkategori bukan umat pilihan Allah seperti umat Israel yang adalah keturunan Abraham. Paulus telah membela keyakinan
bahwa keselamatan juga tersedia bagi orang-orang di luar bangsa Yahudi; ia sendiri diutus sebagai rasul bagi kaum non-Yahudi. Di pasal 9-11 kini ia kembali bertanya: jika demikian, bagaimana posisi bangsanya? Benarkah Allah telah meninggalkan mereka?

Apakah mereka, oleh sebab mereka tidak mau menerima Kristus, maka mereka pun telah ditolak oleh Allah? Apakah Paulus sedang menggemakan konsep yang di kemudian hari dikenal sebagai supersessionism, bahwa gereja menyempurnakan, atau bahkan, menggantikan posisi Israel sebagai umat penerima perjanjian? Sepertinya tidak.
Sekalipun hati Paulus pedih dan terluka karena kaumnya tidak menerima Kristus yang dia beritakan kepada bangsa-bangsa asing, ia kini berbalik kepada kaum non-Yahudi Kristen dan berkata: “Jangan menganggap dirimu lebih pandai” (11:25). Ia menegaskan agar kaum non-Yahudi tidak menjadi congkak dan merasa superior karena bagi Paulus, kaumnya ini tetap umat Allah, mereka tetap umat perjanjian, dan dari merekalah Mesias dari keturunan Daud hadir, mereka tetaplah kaum yang mendapatkan kemurahan Allah; dan dengan begitu, Allah ia pun kenal sebagai Bapa yang tidak pernah lupa menghitung anak-anak-Nya.

Saya tidak akan masuk kepada diskusi panjang tentang supersessionism yang telah disinggung sedikit di atas. Cukuplah kini kita bertanya, apa signifikansinya bagi kita? Bukankah kasih Allah itu penuh kejutan, itulah kasih yang banyak disinggung oleh para teolog masa kini sebagai kasih dalam imaji salib—the cruciform love! Saya membayangkan, di surat Roma ini Paulus pertama-tama merentangkan satu tangannya untuk menjangkau kaum non-Yahudi. Kiranya kaum ini jangan berpuas dan berperilaku congkak. Paulus kini merentangkan tangan yang satunya lagi untuk menjangkau kaumnya sendiri. Dengan tangan yang satu ia memeluk kaum non-Yahudi, dengan
tangan yang lain kaumnya sendiri. Di bagian selanjutnya Paulus berkata, “Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (15:7).

Bukankah ini realitas baru yang Allah ingin ciptakan, realitas yang penuh kejutan?

Bukankah pada masa kini kita perlu mereimajinasikan “surga” sebagai kenyataan yang penuh dengan orang-orang yang kita sangka-sangka dan bahkan, yang tidak kita harapkan berada di sana? Apa pentingnya bagi komunitas kita?

Jikalau komunitas kita adalah keluarga baru seperti dambaan Allah, maka tidak ada lagi kelompok “kami” yang
berlawanan dengan “mereka.” Ketimbang berkata kepada orang yang duduk di bangku yang biasa kita duduki, “Kamu menempati tempatku!” bukankah lebih indah kita berkata, “Marilah duduk di sampingku.” Tidak ada lagi orang asing, tidak ada lagi yang kesepian dan mengerang sendiri dalam sakit-penyakitnya, tidak ada lagi yang merasa tidak diperhatikan. Sebab, semuanya merasa bahwa kita adalah anak-anak Allah—Bapa, yang tidak pernah lupa menghitung! Amin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *