
Kabar duka menghampiri komunitas Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta. Pada hari Jumat, 26 Juni 2020 pukul 18.47 WIB, Pdt. (Em). Prof. Sularso Sopater, D.Th atau kerap disapa Pak Larso berpulang ke rumah Bapa di Surga dalam usia 86 tahun dan disemayamkan di Hall Rumah Sakit PGI Cikini. Ibadah duka diadakan Sabtu 27 Juni 2020, pukul 17.00 WIB dari Rumah Duka RS PGI Cikini. Dipimpin oleh PGI dan STFT Jakarta dan disiarkan live di kanal youtube GKJ Jakarta. Jenazah beliau nantinya akan dikuburkan di Pondok Kelapa.
Beliau merupakan pendeta Gereja Kristen Jawa, alumni, mantan dosen tetap STT-J periode 1982-89/90, mantan Ketua STT Jakarta periode 1989-1990 serta Ketua Umum PGI 1987-1999 dan mantan anggota Dewan Pertimbangan Agung RI. Kepergian Pak Larso meninggalkan kenangan dan rasa kedukaan bagi komunitas STFT Jakarta terutama bagi para muridnya terdahulu ketika masih mengajar. Berikut merupakan cerita maupun kenangan dari beberapa murid beliau:
Pdt. Gomar Gultom
(Pendeta HKBP & Ketua Umum PGI)
“Nabi Bisu” itu telah Pergi: “Selamat jalan, Pak Larso”
Dalam perjalanan pulang ke rumah, saya ditelepon oleh Direktur Ketua RS PGI Cikini, yang menyebutkan bahwa Bapak Sularso Sopater dalam keadaan kritis. “Tim Dokter sudah melakukan segalanya, tapi nampaknya tak ada respons lagi. Ini hanya menunggu dalam hitungan menit”. Karuan saja saya membalikkan arah perjalanan ke arah Cikini, dengan harapan masih bisa menjenguk beliau. Sayangnya, empat menit kemudian kembali Direktur menelepon saya, dan menyebutkan bahwa beliau telah menghembuskan napasnya yang terakhir.
Saya serasa terhempas.
Segera rekaman-rekaman masa lalu bermunculan dalam benak saya, silih berganti.
Saya masuk di STT Jakarta pada tahun yang sama Pak Larso (demikian kami selalu menyapa beliau) mulai mengajar di STT Jakarta. Secara berangsur beliau menggantikan Dr Sudarmo, yang sudah semakin uzur.
Sebagai mahasiswa tahun pertamanya, angkatan kami sangat dekat dengan beliau, secara personal. Beliau acap membawa kami keliling Jakarta pada akhir pekan sebagai bagian dari proyek “Pengenalan Dunia Sekitar”. Sesekali bahkan kami berakhir pekan di sekitar Puncak atau di Parung. Hanya saja, kami harus sabar dengan cara mengemudi beliau yang teramat hati-hati.
Beliau tak banyak bicara, tapi banyak berbuat. Itu kesan terdalam saya atas pribadi beliau. Selain irit bicara, juga pelan dan dengan suara halus. Mengikuti mata kuliahnya kita harus menyimak betul, kalau tidak ingin kelewatan dengar.
Tapi beliau seorang pendengar yang sangat mengagumkan. Bahkan ketika beliau menjadi Rektor STT, beliau lebih banyak mendengar ketimbang bersuara. Dan seingat saya, tidak pernah marah. Satu-satunya kekesalannya yang terungkap, seingat saya, adalah ketika menegor seorang pendoa ketika Ibadah Pagi di kapel, yang menurutnya kurang pantas.
Secara pribadi saya memiliki beberapa keterpautan dengannya. Sebagai dosen dan rektor pada masa-masa kuliah saya, beliau sangat berperan dalam pertumbuhan kehidupan peinadi saya. Beberapa kali saya berkunjung ke rumahnya di Rawamangun, yang tak jauh dari rumah saya. Kunjungan ini selain karena urusan kampus, juga karena saya punya program “bina vokalia” bersama Lala, putri sulungnya.
Namun yang paling mendekatkan saya lebih jauh dengan beliau adalah ketika ada masa beliau, oleh sebuah keadaan, harus ikut campur, dalam masalah percintaan saya, yang lewat itu justru saya makin mengenal beliau, sampai ke isi hatinya, sebagaimana beliau ungkapkan. Hubungan percintaan saya dengan Loli J Simanjuntak semakin mantap (dan mendalam) tak lepas dari sentuhan campur tangan beliau.
Masa-masa beliau menjabat sebagai Ketua Umum PGI, saya malah tidak memiliki kesempatan berinteraksi dengannya, karena masa-masa itu kami disibukkan dengan perlawanan terhadap rejim militer yang menganeksasi kepemimpinan HKBP, ketika itu. Ada beberapa kali perjumpaan, tetapi selalu dalam suasana menegangkan, karena selalu dalam kaitan dengan konflik tersebut. Beliau, bersama Pdt Joseph M Pattiasina (Sekum PGI ketika itu), memperkenankan nomor rekening PGI digunakan menjadi medium transaksi keuangan HKBP. Maklum ketika itu semua aset dan rekening HKBP pun dikuasai oleh rejim militer bersama “boneka”nya di Pearaja. Dan saya, yang berperan mengelola rekening tersebut (karena para fungsionaris HKBP kocar-kacir pada lima bulan pertama konflik tersebut), jadi sering juga bertemu dengan beliau, Pattiasina dan Pak Frans Tumiwa, Bendahara PGI ketika itu.
Ada beberapa perbedaan pendapat kami yang sangat tajam dengan beliau ketika itu, menyangkut penilaian akan akar masalah HKBP dan proses penyelesaian kasus tersebut. Namun perbedaan pendapat itu, sekalipun sangat prinsip dan keras, sama sekali tidak mempengaruhi kedekatan personal. Sikap kebapakannya tidak hilang dan pengayomannya tetap dikedepankan. Bahkan beliau memperkenankan penggunaan rekening PGI untuk kepentingan HKBP. Tetapi, lagi-lagi beliau tak banyak bicara.
Satu hal yang terus saya renungkan sampai sekarang dari ungkapan beliau adalah, “Intervensi militer dalam tubuh HKBP ini tidak bisa sepenuhnya dilihat hanya kesalahan negara. Harus juga dilihat proses-proses internal, yang akhirnya mengundang campur tangan militer ini. Jadi yang mengundang itu adalah HKBP sendiri”.
Malam ini, saya menyaksikan tubuh Pak Larso terbujur kaku di ruang E RS PGI Cikini, sebelum dibawa ke ruang pemulasaran. Diam seribu bahasa. Semasa hidupnya beliau juga banyak diam, berbicara seperlunya saja. Tak heran kalau Suyito, penulis biografi beliau menjulikinya sebagai Nabi Bisu, dan itu pula yang menjadi judul biografi tersebut.
Namun bisunya Pak Larso tidak berarti mendiamkan keadaan di sekitarnya. Beliau seorang pekarya. Bahkan hingga menjelang ajalnya pun masih terus berkarya. Meski penglihatannya sudah berkurang 50 persen, dalam usianya yang sudah 86 tahun beliau senantiasa dengan cepat membalas email maupun WA. Bahkan beliau rutin menyapa saya lewat kiriman WAnya.
Pada acara serah-terima kepengurusan MPH-PGI periode lalu ke periode sekarang, saya sama sekali tak menduga beliau hadir. Saya tahu betul betapa sulitnya beliau melakukan perjalanan dari rumahnya di Pondok Gede, yang selalu harus dituntun oleh salah seorang putra atau menantu beliau. Di akhir acara, ketika bersalaman, beliau membisiki saya, “Saya datang khusus malam ini, untuk mengatakan pada Anda, tunaikan jabatan Ketua Umum ini hingga akhir periode. Jangan mundur di tengah jalan!” Saya tahu betul arah ungkapannya, yang berangkat dari pengalaman perjalanan karier beliau sebagai Ketua Umum PGI di masa lalu. (oh, ya, sedari jaman mahasiswa hingga belakangan ini, beliau selalu menyapa saya dengan Anda)
Selamat jalan, Pak Larso. Istirahatlah dalam kedamaian ilahi yang abadi.
Pdt. Lazarus Purwanto
(Pendeta GKI dan Dosen STFT Jakarta)
Mengenang Pak Sularso Sopater membuat saya membuka album foto-foto lama untuk men-share-nya di sini. pada 1989 pak larso sempat menginap beberapa hari di rumah saya di kampen (nederland), untuk mem-bezoek saya yang sedang studi lanjut di sana. lalu, kesempatan itu kami pakai juga untuk “men-jalan2-kan” Pak Larso dengan mobil butut kami ke, antara lain, Giethoorn dan museum Schokland. Mana bisa saya melupakan momen-momen berharga dan menyenangkan itu? …
Selamat jalan, Pak Larso terkasih
Pdt. Mulyadi Oey
(Pendeta GKI dan Dosen STFT Jakarta)
Perjumpaan pertama dengan pak Larso adalah dalam proses OSMABA di Tonjong. Beliau menyajikan refleksi seputar teks kitab Yehezkiel, manggambarkan tentang prosesi yang dalam seputar perjalanan nabi… Saat makan malam bersama, kami berbincang kecil, saya perkenalkan diri dengan nama dan poses kelahiran saya, serta kondisi kesehatan yg tidak prima sejak kecil. Beliau memegang punggung saya dan berkata “Saudara Mulyadi tentu akan kuat jalani semuanya, dan berproses dengan senang hati adalah obat mujarab”… Sebuah wejangan yg sangat dalam dan mengendap.. matur nuwun sanget pak Larso yang rendah hati dan pemberi semangat.
Pdt. Martin Lukito Sinaga
(Pendeta GKPS dan Dosen STFT Jakarta)
Turut berdukacita atas meninggalnya Pdt. Prof. Dr. Sularso Sopater. Mantan Ketua STT Jakarta. Mantan Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Pendeta Gereja Kristen Jawa (GKJ).
Berikut ini petikan-petikan wawancara Martin L. Sinaga dengan Sularso Sopater dalam Buku Penghormatan 70 Tahun Prof. Dr. Sularso Sopater, Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia (BPK Gunung Mulia, 2004). [petikan-petikan dipilih oleh Jhon P.E. Simorangkir].
“… Walau saya masih suka dunia pertanian, namun saat itu saya tidak menoleh lagi. Ini menjadi semangat saya seterusnya: saya harus tetap tidak menoleh lagi, sebab saya merasa sudah dikuasai oleh Tuhan.” (h. xxx).
“… Saya sebagai orang yang masih hijau mulai bekerja dengan low profile pada tahun 1960, dan siap melakukan apa saja. Saya pun ditugasi kerja di dareha-daerah pinggiran, naik sepeda seputar radius 15 km, dan tidak menoleh lagi. Saya harus setia dengan perkara yang kecil. Inilah masa formatif spiritualitas saya, saat itu 26 tahun usia saya.” (h. xxx).
“Pelayanan di jemaat sungguh formatif, membentuk saya. Saya belajar hormat dan kasih terhadap gereja saat itu, khususnya karena terlibat membangun jemaat di sekitar tahun 1960, memelopori pendirian GKJ Ndayu. Saya naik sepeda setiap malam selama 2 tahun, dan bersekutu dengan bekas murid-murid sekolah Kristen. Dan kemudian kalau berbicara soal gereja di setiap waktu, saya ingat jemaat Ndayu itu, dan karenanya tak pernah ada kemauan saya untuk merusak gereja.” (h. xxxi).
“… Walau saya sadar saya anak Jawa, dibesarkan di lingkungan Kristen, dan kedua hal itu masih antagonistis: saya merasakan diri sendiri dalam situasi tidak jelas! Pikiran saya Jawa, tetapi aspek-aspek yang menentukan tidak lengkap. Karena Zending, semua ekspresi Jawa dalam Gereja Jawa dikeluarkan! Tarian malah dibuang, wayang juga dibuang! Nah, saya ini nembang tidak bisa lagi, tetapi juga tidak bisa menikmati seluruh musik Barat. Itu menunjukkan kesulitannya. Juga kan dalam filsafat, ya kami ini kan kebatinan semua, hal itu semuanya mengandung unsur mitis dan mistis, dan tidak mengedepankan rasionalitas.” (h. xxxii).
“Belakangan hal itu muncul dalam refleksi saya. Doktrin Gereformeerd kok ketat sekali sikapnya terhadap budaya. Saya mulai mengkritik bahkan keputusan ayah saya sendiri, yang dulu melarang wayang; dan saya ikut mendorong wayang dan gamelan masuk gereja. Dengan modal Pendidikan yang semakin luas, saya mencoba keluar dari kungkungan itu. … Secara umum mulai terjadi keleluasaan bergeraja, dan gereja semakin terbuka bagi kultur lokalnya.” (h. xxxiii).
“Dalam kasus GKJ, semua masih formatif, antara warisan dan adaptasi baru itu tidak mudah. Pada Pokok-pokok Ajaran GKJ, dan disahkan 1996, Katekismus Heidelberg tidak lagi menjadi satu-satunya pegangan. Wah, reaksi atas itu luar biasa. Malah ada anggota jemaat yang meninggalkan GKJ. Juga dalam struktur, GKJ kan presbiterialisme yang ekstrem, mirip kongregasional, artinya jemaat lokal berkuasa penuh, dan itu semua warisan Gereformeerd. Dan sampai sekarang GKJ masih mencari model yang pas, sebab orang Jawa cenderung pada gaya episkopal. Lihat saja cepatnya pertumbuhan gereja Katolik di Jawa, karena gereja itu episcopal. Jadi memang otonomi jemaat dan kebersamaan harus lebih dijaga keseimbangannya dalam hidup menggereja di Jawa ini.” (h. xxxiii-iv).
Dani Pattinaja Talakua
(Pendeta GMIT dan dosen musik gereja STAKN-Kupang)
Turut berdukacita atas meninggalnya Pdt. Prof. Dr. Sularso Sopater. Mantan Ketua STT Jakarta, mantan Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Sosok teladan dari pemimpin yg mau turun dan mendegar dari bawah, pengajar/teolog yg luar biasa dan pribadi yg rendah hati..
Tuhan menyambut bapak dalam Kemuliaan-Nya..