Pada hari Rabu, tanggal 1 September 2021, tepatnya pukul 11:30-12:45 WIB, Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta kembali mengadakan Community Day dengan tema besar “Sosialisasi Kode Etik STFT Jakarta.” Sesuai dengan temanya, ComDay ini dibawakan oleh tim penyusun kode etik yang bernama Komite Etik STFT Jakarta Tahun 2021. Adapun susunan komite tersebut antara lain: (lih. gambar di bawah)
Dari susunan komite ini, kita melihat, seperti yang dikatakan oleh Ketua STFTJ, Septemmy E. Lakawa, Th.D., “Bahwa tidak ada tim pemimpin kampus yang tergabung di dalam komite ini. Hanya terdapat 3 unsur, yaitu dosen, karyawan dam mahasiswa, dalam sistem check and balances. Jadi kode etik ini tidak mengikat kepentingan dari para pemimpin kampus.” Inilah yang dikatakan oleh Lakawa sebagai “Bentuk mencerminkan cita-cita luhur yang ingin dipertahankan di kampus STFTJ.”
Acara ComDay ini dibuka dengan sapa dan ucapan syukur dari Ester Pudjo Widiasih, Ph.D., yang kemudian dilanjutkan kepada Ibu Ketua STFTJ dengan memimpin doa pembuka dan memberikan ucapan syukur. Tidak lupa, Ibu ketua juga menyapa semua partisipan yang hadir melalui media zoom dan menjelaskan secara singkat tujuan dari acara ini. Ada pun acara ini merupakan suatu hal yang wajib diikuti oleh seluruh civitas STFTJ. Berdasarkan pemantauan kami, terhitung pukul 12:06 WIB, ada 230 civitas yang hadir dan antusias untuk mendengar serta memahami kode etik yang sedang dipercakapkan.
Ibu ketua memberikan waktu dan kesempatan kepada Komite Etik untuk menjelaskan perihal Kode Etik STFTJ yang baru diterbitkan belakangan ini. Sebagai ketua komite, Prof. Joas Adiprasetya, Th.D., segera mengambil alih acara. Beliau mengucap syukur dan berterima kasih atas kepercayaan kampus dan seluruh civitas kepada Komite Etik untuk menyusun kode etik STFT Jakarta Tahun 2021. Kemudian, ia melanjutkannya dengan memberikan pengantar umum terkait kode etik tersebut. Satu hal yang selalu ada dari Adiprasetya ialah gurauan teologisnya. Beliau berkata, “Kami, Komite Etik STFTJ, akan selalu berusaha dan terus bekerja dengan semangat yang membara sampai Tuhan Yesus datang kembali atau sampai kami dipanggil oleh-Nya.” Setelah beliau memberikan pengantar umum, penjelasan kode etik kemudian dilanjutkan oleh tim perwakilan dari dosen, karyawan dan mahasiswa-mahasiswi.
Ketika tiba pada kesempatannya, Prof. Jan S. Aritonang, Ph.D., dengan jelas mengatakan kepada civitas terkait kewajiban dan tanggung jawab para dosen. Beliau mengatakan, “Saya meminta perhatian para mahasiswa untuk melihat apakah para dosen sudah menjalankan tugas dan kewajibannya dengan benar. Apakah tugas kalian lama tidak dikembalikan, atau tugas kalian tidak dikoreksi, atau bahkan jika kalian di dalam satu mata kuliah mendapatkan nilai A secara merata. Perhatikanlah hal ini. Jika ada dosen yang tidak memenuhi kewajibannya, sampaikanlah kepada komite etik, agar masalah ini diurus dan diselesaikan.” Mengapa disampaikan kepada komite etik? Aritonang mengatakan bahwa “Pekerjaan komite etik bukan hanya menyusun kode etik, tetapi juga menjalankannya.”
Ada tiga pertanyaan utama yang muncul selama acara berlangsung. Pertanyaan pertama terkait konteks pandemi dan non-pandemi (Ejodia Kakoensi). Pertanyaan kedua terkait kode etik mahasiswa bab 1, pasal 3, ayat 1 (Simon Rachmadi, Ph.D.) Pertanyaan ketiga terkait nama baik dan kehormatan STFTJ (Amadeo Udampoh). Untuk lebih jelas, sila tonton rekaman acara di YouTube STFT Jakarta.
Dari respons yang diberikan tiap-tiap anggota tim, kita dapat menarik benang merah yang dapat menjadi pegangan kita menyoal kode etik yang berlaku. Pertama, kode etik yang ada secara tersurat memikirkan konteks non-pandemi, namun di saat yang sama secara tersirat memikirkan konteks pandemi. Kedua, kode etik berada di jejaring peraturan yang ada, seperti Pedoman Anti Kekerasan yang sudah cukup lama berlaku di STFTJ. Dari sana sudah cukup detail dituturkan bagaimana civitas merespons kekerasan. Ketiga, jika ada kasus yang diadukan atau yang dilihat secara langsung, Komite Etik akan mengadakan pertemuan untuk membahas bagaimana memecahkan masalah tersebut. Keempat, diskresi kepemimpinan itu ada untuk pengambilan keputusan. Tentu ada value (objektif-subjektif) yang dipakai oleh Komite Etik dan pemimpin dalam memberikan sanksi. Kelima, kode etik harus dilihat sebagai pembinaan diri seluruh civitas. Jika tidak, kita dapat terjebak.
“Penting untuk disadari bahwa jika pihak lain mengatakan diri kita buruk, itu tidak berarti bahwa diri kita buruk, dan sebaliknya. Penting sekali untuk kita dan komunitas kita mendefenisikan diri berdasarkan nilai-nilai yang dianut.” -Prof. Joas Adiprasetya, Th.D.
[LJS]