Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta (STFT Jakarta) pada hari Senin, 24 Oktober 2022 telah menyelenggarakan Kuliah Umum Bulanan “Kala dan Kalam” yang dilaksanakan secara daring. Kegiatan ini merupakan bagian dari pengabdian kepada masyarakat. Kala dan Kalam mengangkat dua buah tema, yaitu: “Spiritualitas dan Religiusitas dalam Pelayanan di Era Digital” oleh Pdt. Binsar J. Pakpahan,Ph.D dan “Bunuh Diri: Hutang Gereja” oleh Pdt. Agustinus Setiawidi. Kegiatan ini dihadiri sekitar 90 peserta melalui Zoom dan dilaksanakan pada pukul 15.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB. Kala dan Kalam kali ini dimoderatori oleh mahasiswi program pascasarjana, Ibu Welhelmina Manuputty, S.Si-Teol.
Dalam sesi pertama Kuliah Umum Bulanan ini, Pdt. Binsar J. Pakpahan menjelaskan spiritualitas dan religiusitas dalam masa pagebluk di mana Gereja memasuki dunia digital. Dunia digital ini menjadikan spiritualitas dan religiusitas perlu dilihat kembali perkembangan dan tantangannya bagi Gereja. Alumni program studi doktoral Vrije Universiteit ini mengatakan dalam masa pagebluk ini bahwa seseorang dimungkinkan untuk mengalami pengalaman spiritualitas Kekristenan yang bertumbuh tanpa pengalaman religiusitas dengan persekutuan Gereja oleh karena kehadiran ruang digital yang memungkinkan hal tersebut terjadi.
Pada sesi kedua, Setiawidi mengangkat persoalan praktik bunuh diri dalam perjalanan pelayanan Gereja. Gereja pada umumnya mewarisi teologi yang menilai praktik bunuh diri sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, bahkan ada organisasi Gereja yang tidak melakukan pelayanan bagi warga jemaat yang melakukan praktik bunuh diri. Untuk itu, Agustinus mengajak peserta melalui Kuliah Umum Bulanan ini untuk meninjau ulang warisan teologis tentang praktik bunuh diri ini yang secara umum diwariskan dari warisan teologis Gereja barat. Wakil Ketua 1 STFT Jakarta ini mengatakan: “penafsiran ulang atas praktik bunuh diri yang memperhitungkan beragam faktor penyebab secara menyeluruh akan mempertimbangan praktik bunuh diri bukan sebagai dosa yang layak dihukum melainkan sebagai hutang yang harus dibayar oleh Gereja.” Saat ini Gereja ditantang untuk melihat bagaimana Gereja menempatkan dirinya serta melihat identitas dirinya ditengah masyarakat yang cenderung melihat praktik bunuh diri sebagai hal yang melawan kehendak Tuhan.
Acara ini menjadi menarik dengan adanya interaksi para peserta, salah satu peserta Pdt. Marianus Tupessy dalam sesi interaksi tersebut mengatakan bahwa: “spiritualitas yang baik akan membangun keteraturan hidup, maka jika spiritualitas bermuara dan berakhir pada individualistis maka keteraturan hidup menjadi dipertanyakan, bahkan dalam catatan kebangsaan akan menghancurkan sendi-sendi kebangsaan.” –Sfk.