Ditulis oleh: Teofilus Nathanael, Daniel Luther Hotmaruli Simanjuntak, Joy Adhitya Barus (Departemen Kajian Strategis BEM STFT Jakarta)

Istilah ‘cawe-cawe’ menjadi populer sejak pertama kali disebutkan oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah sesi wawancara mengenai proses transisi kepemimpinan pada proses Pemilihan Presiden Republik Indonesia tahun 2024. Kamus Besar Bahasa Indonesia VI mendefinisikan ‘cawe-cawe‘ sebagai sebuah istilah Jawa yang berarti “ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan); ikut menangani.” Secara sekilas, definisi ini terlihat baik, sebab menekankan pada keikutsertaan dalam penanganan suatu kegiatan. Namun demikian, saat diletakkan pada konteks demokrasi, terkhusus dalam pemilu sebagai ‘pesta demokrasi’ yang menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil), istilah ‘cawe-cawe’ cukup mengkhawatirkan karena kerahasiaan dan kejujuran dalam proses pemilihan terkesan diintervensi.

Singkatnya, kemunculan istilah ‘cawe-cawe’ dapat mengindikasikan kehadiran seorang ‘king maker’ (penyusun strategi) dalam proses demokrasi demi memenangkan pasangan calon tertentu yang dianggap oleh sang penyusun strategi mumpuni dalam mencapai apa yang ingin dicapai oleh penyusun strategi tersebut. Persepsi yang mudah timbul saat istilah ini dimunculkan adalah bagaimana sang penyusun strategi dapat mempergunakan celah-celah peraturan (mulai dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dalam lingkup kecil hingga Undang-undang dalam lingkup yang lebih luas) untuk dapat meloloskan dan memenangkan pasangan calon tersebut.

Kerap kali ‘cawe-cawe’ dalam demokrasi dianggap sebagai tindakan membantu, semisal melalui pemberian arahan-arahan tertentu. Seorang ‘king maker’ ini dipandang sebagai sosok yang memiliki wibawa, sehingga apapun yang disampaikan oleh sang penyusun strategi diterima oleh berbagai pihak. Padahal, proses demokrasi mengharapkan timbulnya persaingan yang sehat bagi para pasangan dan menumbuhkan semangat bagi masyarakat untuk memilih. Akan tetapi, ‘cawe-cawe’ membuat suasana pesta demokrasi menjadi senyap oleh karena beberapa pihak yang diuntungkan dan pihak lainnya kecewa.

Seyogyanya, dalam proses demokrasi, ‘cawe-cawe’ tidak perlu dilakukan oleh siapapun, sebab rakyat sebagai pemegang posisi hierarkis tertinggilah yang seharusnya menentukan siapa yang berhak melanjutkan atau bahkan mengubah arah kebijakan bangsa, terlepas dari kelemahan proses demokrasi dengan sistem voting di mana setiap orang, terlepas dari latar belakang sosial-ekonomi yang dimilikinya, tetap memiliki suara yang sama satu sama lainnya. Proses sandiwara, intervensi, dan usaha-usaha lainnya dengan niat mencari dan memanfaatkan celah aturan, bahkan melanggar aturan perlu diawasi dan dilaporkan bersama sebagai bagian dari check and balance dalam proses berdemokrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *