Ditulis oleh: Christanto Sema Rappan Paledung (Pendeta Gereja Toraja Jemaat Ponglu’ dan Sarambu, Klasis Pangala’ Utara, Sulawesi Selatan)
Adven dan Ikhtiar Menata Kehidupan
Adven menandai masuknya perayaan liturgis gereja ke dalam penantian akan kelahiran sekaligus kedatangan Yesus Kristus. Pengharapan yang terkandung di dalamnya membawa kita kepada politik kehidupan sehari-hari atau penataan dan perawatan kehidupan sehari-hari dalam terang pengharapan. Aristoteles, sebagaimana yang diuraikan oleh Martha Nussbaum, mendefinisikan sebagai ikhtiar-ikhtiar untuk mengejawantahkan kemaslahatan hidup dengan menata dan merawat kehidupan.
Sebagai pendeta jemaat, saya ingin mengelaborasi dua hal yang dekat dengan kehidupan umat tempat pelayanan saya, yakni pembagian daging (mantaa duku’) dan politik kenegaraan. Dua hal tersebut adalah hal yang luhur dalam kehidupan umat yang sekaligus warga negara Indonesia. Pembagian daging bagi masyarakat Toraja menandakan kolektivitas hidup yang tidak menyisihkan satu orang pun. Sementara, tahun politik yang sedang kita songsong ini adalah asa warga negara untuk sebuah kehidupan bernegara yang sejahtera dan berkeadilan. Luhurnya dua hal tersebut mengalami deviasi menuju mal-politik kekuasaan. Refleksi ini hendak mengeksplorasi dua hal tersebut dari kacamata politik Adven. Argumen utama saya adalah Politik Adven mendorong daya kreatif umat untuk berpartisipasi menata dan merawat tradisi pembagian daging dan menyosong tahun politik dan pengharapan eskatologis.
Politik Daging dan Politik Kekuasaan
Kurang lebih sudah tiga tahun lamanya saya melayani dua jemaat desa di pegunungan utara Toraja. Semua warga jemaat masih mempraktikkan tradisi leluhur dalam berbagai ritus dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Salah satunya adalah pembagian makanan di hampir semua ritus, khususnya daging, baik dalam rupa makanan maupun masih mentah. Bagi orang Toraja, membagikan makanan, matang maupun mentah, adalah simbol relasi sosial dan kolektivitas. Tidak ada yang terkecuali, semua mendapatkan makanan, bahkan tukang jual balon, atau siapapun yang hadir selain warga lokal mendapat jatah makanan. Bahkan, sapaan sehari-hari masyarakat Toraja berkaitan dengan makanan, yakni manasumo raka? (apakah sudah matang?).Contoh lain misalnya, saat seseorang pulang membawa daging dari sebuah ritus, ia harus tetap membagikan daging tersebut untuk tetangganya (tila’).
Kendati demikian, Raymond Kennedy, seorang antropolog asal Amerika Serikat, mengatakan bahwa orang Toraja gila dengan daging (mad-meat).3 Menurutnya, “kegilaan” itu berkaitan dengan rasa malu (siri’) bagi setiap orang. Seseorang dapat merasa malu dan bahkan marah jika tidak mendapat makanan dari sebuah ritus. Kendati demikian, menurut saya, pembagian makanan atau daging harus dipahami sebagai bagian dari kolektivitas masyarakat Toraja. Tidak mendapatkan makanan berarti dianggap tidak menjadi bagian dari persekutuan yang sedang berlangsung. Karena itu, pembagian daging adalah simbol kolektivitas masyarakat Toraja.
Menurut saya, tradisi pembagian daging memiliki hubungan dan kesamaan dengan kancah perpolitikan Indonesia, secara khusus menuju tahun politik 2024. Luhurnya pembagian daging bagi masyarakat Toraja telah terdeviasi, salah satunya, oleh mal-politik. Masyarakat Toraja kerap terpecah akibat perbedaan pilihan politik di hampir setiap tahun politik. Praktik politik dalam pemeritahan pun, dalam berbagai level, seperti juga “seperti bagi-bagi daging.” Tidak jarang, kita juga melihat varian politik “bagi-bagi daging” itu dalam rupa politik dinasti. Bagi-bagi daging pun juga kerap terjadi dalam rupa koalisi partai-partai politik yang berkompetisi dalam pemilihan langsung. Atau misalnya, kuatnya dominasi para elit di panggung politik Indonesia. Dominasi itu pun hanya memerkayakan kelompok-kelompok tertentu dan menyisihkan warga negara.
Alhasil, politik yang semula luhur, untuk menata kehidupan kota atau masyarakat demi terselenggaranya kehidupan layak bagi masyarakat menjadi mandeg. “Daging” yang harusnya dibagi agar tidak ada yang tersisih di bangsa ini, menjadi dikuasai pemilik kuasa. Pembagian daging dan politik pemerintahan pun bermutasi menjadi instrumen kekuasaan.
Politik Adven
Menurut Jürgen Moltmann, adven (adventus) tidak terlepas dari masa depan (futurum). Futurum mengacu pada sesuatu yang muncul dari proses abadi yang melahirkan keberadaan kini dan di sini. Singkatnya, ia adalah manifestasi atas potensi yang paling dasar. Namun, percakapan tentang adventus berimplikasi pada kedatangan Allah yang kita rindukan dalam setiap perayaan Adven. Dengan demikian, masa depan dapat diantisipasi di dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh, Moltmann mengusulkan bahwa Allah yang Sang Pengharapan sebagai pemberi hidup, penata hidup, dan pembaharu hidup, senantiasa menyediakan daya kreatif bagi manusia yang membebaskan manusia. Nikolai Berdyaev (1874-1948), seorang filsuf dan teolog Rusia, menukas bahwa daya kreatif bertujuan menciptakan kehidupan alternatif atas dunia yang telah membatu karena telah terobjektivikasi, dunia yang kacau, dan cacat, menjadi dunia yang bebas dan indah. Daya kreatif itu tidak mencipta dunia lain, melain masuk ke dalam dunia ini dan mengubahnya. Lebih jauh lagi, Berdyaev menilai daya kreatif itu adalah ekspresi cinta Allah yang menerobos ke dalam kesehari-harian. Karena itu, saya memahami pengharapan akan masa depan itu adalah cinta Allah yang menerobos ke dalam kehidupan manusia serta mendayakan kita menata kehidupan saat ini.
Pengakuan Gereja Toraja Bab VIII:1 pun menandaskan hal serupa, yakni Kerajaan Allah telah mulai dengan kedatangan Yesus Kristus. Di dalam kebangkitan-Nya kita dibangkitkan kepada suatu hidup baru yang penuh pengharapan akan sempurnanya Kerajaan Allah itu. Lebih jauh, Gereja Toraja meyakini bahwa pengharapan itulah yang membuat semua penatalayanan kehidupan kita di dunia ini adalah respons umat atas anugerah ganda (penebusan dan pengudusan).
Dengan demikian, saya memahami bahwa Adven memiliki dimensi politik. Artinya, ikhtiar iman Kristen untuk menata kehidupan didorong oleh pengharapan akan sempurnanya Kerajaan Allah. Allah menganugerahkan daya kreatif agar dalam kehidupan kini dan di sini, kita menata dan merawat kehidupan menuju sempurnanya Kerajaan Allah. Aneka realitas kehidupan manusia yang berada dalam tegangan antara anugerah dan dosa terus ditata dan dirawat.
Membagi Daging dan Menata Politik Kekuasaan
Pada masa Adven ini, mari kita merenungkan ulang daya pengharapan dari Adven atau kita bisa menyebutnya politik Adven. Secara eskatologis, pengharapan akan ideal wujud Kerajaan Allah menata kehidupan kita saat ini dan mendorong kita merawatnya. Di sanalah partisipasi kita sebagai orang Kristen mewujud. Merosotnya ritual pembagian daging yang sejatinya dihelat demi keberlangsungan hidup komunitas harus ditata ulang agar tidak ada yang tersisih dan terbuang. Di sisi lain, politik bernegara pun juga harus ditata ulang dalam daya kreatif pengharapan Adven. Huru-hara tahun politik yang sudah memanas di tahun ini juga pun disikapi dengan semangat politik Adven.
Pengharapan yang mendorong kita untuk menata kehidupan saat ini juga menubuh sehari ke sehari. Saya meminjam gagasan Richard Kearney tentang mikro-eskatologi. Kearney mengatakan bahwa eskatologi secara konseptual mengacu pada kemungkinan masa depan yang tidak dapat direalisasikan. Akan tetapi, ia mengubah hal yang tidak mungkin dengan memerkenalkan mikro-eskatologi. Mikro-eskatologi adalah kecerahan eskatologis dari masa depan yang direalisasikan kini dan di sini. Kendati Kearney melihat bahwa yang eskatologis terlahang di masa depan, tetapi ia memandang bahwa masa depan mengakar dalam kesehari-harian secara mikro-eskatologis.
Saya memandang bahwa daya kreatif yang mengubahkan itu pun terekspresi dalam tertata ulangnya pembagian daging, pun kekuasaan harus di tangan orang banyak (demokrasi bukan oligarki). Karena, yang di masa depan itu mewujud dalam kesehari-harian kita. Penantian (adventus) yang berpengharapan senantiasa menata dan merawat kehidupan kita kini dan di sini.
Daftar Pustaka
Berdyaev, Nikolai. The Meaning of the Creative Act. Translated by Donald A Lowrie. San Rafael, CA: Semantron Press, 2009.
Kearney, Richard. “Epiphanies of the Everyday: Towards a Micro-Eschatology.” In After God: Richard Kearney and The Religious Turn in Continental Philosophy, edited by John Panteleimon Manoussakis, 1st ed., 3–20. New York, NY: Fordham University Press, 2006.
———. The God Who May Be: A Hermeneutics of Religion. Bloomington, IN: Indiana
University Press, 2001.
Kennedy, Raymond. Field Notes on Indonesia, South Celebes 1949-50. New Haven, CONN: Human Relations Area Files, 1953.
McDougall, Joy Ann. Pilgrimage of Love. Pilgrimage of Love. Oxford: Oxford University Press, 2005.
Moltmann, Jürgen. Theology of Hope: On the Ground and the Implications of a Christian Eschatology. New York, NY: Harper & Row Publishers, 1965.
Nussbaum, Martha Craven. The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.
Paledung, Christanto Sema Rappan. “Manasumo Raka’s Concept and Theology of The Eighth Day: A Comparison in Asian Public Theology Discourse and Possibility Constructive Theology.” In CATS IX Conference CCA. Medan:
Christian Conference of Asia, 2019.
Volkman, Toby Alice. Feasts of Honor: Ritual and Change in the Toraja Highlands. Urbana, IL: University of Illinois Press, 1985.