Pada hari Rabu, 25 September 2024, Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta kembali melanjutkan kelas penyegaran untuk para alumni STFT Jakarta di Aula Lt. 1 dan Aula Lt. 5. Peserta dari kelas penyegaran alumni cukup ramai, dihadiri oleh alumni dengan latar belakang profesi pekerjaan yang beragam. Kuliah penyegaran untuk para alumni kali ini mengusung dua tema yang tidak kalah menarik dibandingkan sebelumnya, Agustinus Setiawidi, Th.D., dan Yonky Karman, Ph.D., membawakan topik “Gereja dan Israel” dan Mulyadi Oey, D.Min., membawakan topik  “Perspektif Trauma (Dan Luka Batin) dalam Berkhotbah”.

Dimoderatori oleh Raharja Sembiring M.Th,, Topik “Gereja dan Israel” menggait atensi para peserta. Ketegangan konflik yang terus terjadi antara Israel dan Palestina sering mempertanyakan, apakah Israel pada konteks Perjanjian Lama berkesinambungan dengan Israel masa kini? Karman menjelaskan bahwa secara biblis bangsa Israel dapat dikatakan umat kesayangan -Nya, jika menuruti syarat yang diberikan Allah dalam firman-Nya. Israel diharapkan menjadi favorit dan bukan favoritisme yang berhak mendapat tindakan istimewa. Jika Israel mau menjadi kesayangan maka bisa melakukan perintah Allah karena perjanjian Tuhan umat Israel untuk menjadi umat segula masih berlaku. Setiawidi melanjutkan presentasi dengan mendobrak klaim narasi negara Israel hadir ketika Yesus hidup adalah tidak ada dan tidak benar. Pada penghujung presentasi, Ia mengajak hadirin untuk membuka dimensi pemahaman baru dan wawasan yang luas untuk memahami narasi orang Palestina ataupun orang lain tentang Palestina secara kritis.

Kemudian dalam kelas “Perspektif Trauma (Dan Luka Batin) dalam Berkhotbah” yang dimoderatori oleh Putra Arliandy, S.Fil., M.Th, Oey mengawali presentasi dengan menunjukan data dan kekerasan yang mengusung trauma. Oey menggunakan perikop Lukas 24:13-35 “Perjalanan ke Emaus” sebagai narasi yang menunjukan duka yang mendalam bagi para murid Yesus. Mulyadi menekankan bahwa perlawatan dalam khotbah yang sedang mengalam duka sering menjadi ajang penghakiman dan Ia menekankan resiliensi diperlukan dalam khotbah duka. Khotbah perlu menjadi ruang aman bagi pengkhotbahnya maupun penikmatnya dan mencegah khotbah yang berujung pada kekerasan. Pada penghujung presentasi, Oey menekankan untuk merenovasi khotbah dengan cara memberikan ruang yang utuh untuk pengakuan sebagai rekonsiliasi konflik, mendengar suara tangisan dan isak orang yang berduka. Selaku Ketua Pusat Kajian Mediasi dan Rekonsiliasi STFT Jakarta, Oey juga menekankan bahwa STFT Jakarta sangat mengecam segala tindakan kekerasan, terlebih kekerasan seksual dengan membentuk satuan khusus PPKS. Pada penghujung presentasi Oey memberi pesan, “Mari gereja dan kampus menciptakan ruang aman bagi setiap orang dan menjadi lembaga yang dapat dipercaya, mari kita menjadi penawar dari rasa pahit mereka yang menjadi penyintas trauma”. (KAS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *