Liputan27, Jakarta – Ada yang tidak biasa pada hari ini, Selasa (25/11). Hadir orang-orang dengan berbagai orientasi seks, homoseksual dan heteroseksual, dari beberapa negara seperti India, Afrika, Filipina, negara-negara Eropa, Indonesia, dan lain-lain berkumpul di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta. Mereka berkumpul untuk menghadiri sebuah acara yaitu International Consultation on Church and Homophobia. Acara ini sendiri sudah berlangsung dari hari Minggu, 23 November 2014 dan akan selesai pada hari Rabu, 26 November 2014.

Acara yang mengambil tema “Gathering of Asian Churches and Seminary to Addressess Homophobia as Human Rights Violations” ini dibuka oleh Ketua STT Jakarta, Pdt. Joas Adiprasetya, Th. D. Rencananya acara ini akan diakhiri dengan sebuah deklarasi bersama oleh mereka yang hadir yaitu perwakilan sejumlah gereja dan sekolah-sekolah teologi baik dari Indonesia maupun dari berbagai negara lain, utamanya Asia.

Dalam acara tersebut terdapat beberapa pokok diskusi dan workshop yang bertemakan seputar masalah Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, dan Queer (LGBTIQ). Salah satunya membahas “Suicide among LGBTIQ”. Topik ini diangkat untuk membicarakan tentang kecenderungan bunuh diri pada kaum LGBTIQ. Lebih lanjut diketahui, aksi bunuh diri banyak terjadi pada kaum LGBTIQ dengan usia muda. Dalam pembahasan ini juga disampaikan bagaimana cara mencegah dan menghadapinya.

Benny Prawira, dari komunitas Into the Light menjadi narasumber dalam diskusi ini. “Di Indonesia, komunitas yang peduli pada kecenderungan bunuh diri kaum LGBTIQ belum ada yang resmi, dalam arti legalitas. Komunitas yang peduli sudah ada, seperti komunitas Into the Light, walaupun belum banyak,” tegas Benny.
Kecenderungan bunuh diri pada kaum LGBTIQ terjadi karena mereka adalah minoritas dan seringkali mengalami diskriminasi bahkan kekerasan secara verbal maupun fisik. Kaum muda yang masih rentan mengelola stress menjadi lebih cepat putus asa dan pada akhirnya cenderung memilih bunuh diri. Dalam paparannya, Benny juga mengungkapkan beberapa fakta dan mitos terkait kecenderungan bunuh diri dari kajian ilmiah psikologi.

Benny Prawira dalam “Suicide among LGBTIQ”

Benny menambahkan, “Menjadi LGBTIQ sendiri bukanlah penyebab bunuh diri, namun stigma sosial dan diskriminasi terhadap LGBTIQ, itulah yang menyebabkan suasana hati menjadi buruk, muncul kecemasan, keputusasaan, merasa terisolasi, dan hal-hal lain yang memicu keinginan untuk bunuh diri”.

Benny menutup diskusi tersebut dengan menekankan peran penting komunitas baik di sekolah, gereja, untuk memberikan perasaan aman kepada kaum LGBTIQ agar tidak menimbulkan kecenderungan bunuh diri tersebut. “Peran penting keluarga juga dibutuhkan. Kaum muda LGBTIQ yang merasa bahwa keluarganya peduli pada mereka lebih mempunyai sedikit kecenderungan untuk bunuh diri,” tutup mahasiswa psikologi di salah satu universitas di Jakarta ini. (YRH)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *