Kampanye hasil temuan lapangan, program sosial immersioan merupakan sebuah kegiatan kolaborasi antara STFT Jakarta dengan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).  Kegiatan ini dilaksanakan pada (12/10) pukul 17.00 WITA hingga selesai. Melalui media zoom dan live streaming Youtube, setiap orang dapat dengan mudah.

Kampanye kali ini dilakukan dalam bentuk talkshow. Pada kesempatan ini, hadirlah beberapa mentor dan narasumber dari Lembaga sosial immersion serta mahasiswi/a praktik yang telah melakukan tanggung jawab praktik mereka di Lembaga-lembaga tersebut.

Terdapat dua lembaga yang secara khusus diundang dalam kampanye ini, yaitu lembaga rehabilitasi bersumber daya masyarakat Toraja dan Rumah harapan GMIT.  Lembaga rehabilitasi bersumber daya masyarakat Toraja (RBM Toraja), yang diwakili oleh Ibu Agustina Rumissing, sebagai narasumber pertama. Ibu Agustina Rumissing adalah seorang petugas lapangan RBM Toraja. Selain itu, terdapat juga seorang anak binaan RMB Toraja, yaitu Agus Sidappa. Selain mereka, terdapat juga beberapa mahasisi/a yang telah melakukan sosial immersion mereka di RBM Toraja, diantaranya Christian Wibowo dan Viktor Alexander Wibowo.

Lembaga Rehabilitiasi Bersumber Daya masyarakat Toraja (RBM Toraja) ini merupakan sebuah lembaga yang bergerak untuk memberdayakan anak-anak dengan kecatatan atau difabel agar sedapat mungkin dapat hidup dengan baik dan mandiri. Lembaga ini sudah berjalan selama 27 tahun. Terbentuknya lembaga ini, berawal dari keprihatinan terhadap anak-anak dengan kecatatan atau difabel yang tidak mendapat perhatian dan dukungan, entah itu dari orangtua, keluarga, dan pemerintah. Maka dari itu, Persekutuan Wanita Gereja Toraja (PWGT) membuka sebuah program khusus untuk membantu anak-anak dengan kecacatan atau difabel agar sedapat mungkin dapat menjalani hidup mereka dengan baik.

Melalui percakapan yang terbangun dalam ruang virtual ini, RMB Toraja saat ini sedang menjalani tugas dan tanggung jawab mereka dengan segala keterbatasan yang ada karena pandemi Covid-19. Namun, karena perkenanan Tuhan, lembaga ini tetap berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari kesaksian Agus Sidappa, anak binaan RBM, ia mengatakan bahwa karena pembinaan dari RBM, ia dapat menjual hasil karyanya dan menghasilkan uang.

Ibu Rumingsih mengatakan bahwa, pada umumnya, pandangan masyarakat Toraja kepada anak-anak yang menyandang disabilitas adalah karena dosa dari orangtuanya sehingga mereka yang menanggungnya. Seiring berjalannya waktu, pandangan masyarakat berubah karena mereka melihat dan menyaksikan bahwa anak-anak yang menyandang disabilitas ternyata dapat menghasilkan berbagai karya yang luar biasa.

Rumah Harapan GMIT, yang diwakili oleh Ibu Yatri Utan, sebagai narasumber kedua. Ibu Yatri Utan merupakan seorang mantan tenaga kerja binaan Rumah Harapan GMIT. Ia merantau ke negara orang untuk bekerja. Namun, ketika ia pulang ke kampung halamannya, ia mendapati orangtuanya sudah meninggal. Selain itu juga, terdapat beberapa mahasiswi/a yang mengikuti sosial immersion mereka di Rumah Harapan GMIT, diantaranya Fransisco Kent, Timothy, Tiovani Theresia Putri dan Yoel Siahaan.

 Melalui percakapan yang terbangun dalam ruang virtual ini, kami (sebagai pendengar) mendengar berbagai cerita menyakitkan dari beberapa tenaga kerja yang berhasil pulang ke Kupang (Indonesia) dengan keadaan selamat. Mereka yang berangkat ke luar negeri, dilatarbelakangi dengan tingkat ekomoni dan pendidikan yang sangat rendah. Biaya hidup dan harapan untuk memiliki hidup yang baik membuat mereka memutuskan untuk berangkat ke luar negeri untuk bekerja. Setelah sampai disana, mereka justru mendapatkan yang sebaliknya. Mereka disiksa, diancam bahkan sampai dilukai (luka fisik dan psikis).

Melihat latarbelakang diatas, Rumah Harapan GMIT dibangun untuk membantu para korban untuk pulih dari segala bentuk luka yang mereka terima. Sebagai gereja, GMIT tidak mau menutup mata dan berdiam diri saja. GMIT ingin membantu para korban untuk pulih dari trauma mereka. Diakhir tulisan ini, saya ingin menyampaikan refleksi saya sebagai pengamat. Saya belajar bahwa untuk menjadi orang yang bermanfaat, kita tidak hidup untuk diri kita sendiri tetapi hidup untuk membantu orang yang membutuhkan. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dikasih privilage untuk melayani, sudah sepantasnya saya tidak menutup mata atas isu-isu sosial yang terjadi disekitar saya. [KMN)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *